|
Menu Close Menu

Peran Krusial Penjaga Perdamaian Perempuan, Sebagai Agen Perdamaian, Toleransi, dan Kemakmuran

Rabu, 29 Mei 2019 | 15.19 WIB

POLICENEWS.ID --Memegang tampuk presidensi DK PBB di bulan Mei ini, Indonesia mengangkat tema Menabur Benih Perdamaian: Meningkatkan Keselamatan dan Kinerja Misi Pemeliharaan Perdamaian (MPP) PBB" dalam debat terbuka di markas PBB di New York. Diangkatnya tema ini dengan melihat bahwa misi pemeliharaan perdamaian PBB masih merupakan salah satu instrumen yang paling efektif dan memiliki legitimasi kuat dalam pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional.

Dalam pertemuan tersebut, Menlu RI menyampaikan bahwa pasukan penjaga perdamaian PBB merupakan contoh nyata mengenai kemitraan global, kepemimpinan kolektif dan tanggung jawab bersama untuk perdamaian. “Korps Baret Biru (Blue Helmets) adalah penjaga perdamaian yang melindungi ratusan juta manusia di seluruh dunia. Mereka adalah wajah Dewan Keamanan PBB, dan salah satu potret kerja sama multilateral yang terbaik," ungkap Menlu RI.

Indonesia mengemukakan empat poin penting untuk mewujudkan MPP yang berdaya-guna, yakni Memperhatikan kebutuhan spesifik misi (mission-specific approach); Kemampuan berinteraksi dengan komunitas lokal (community engagement)

 Pemajuan peranan perempuan, dan penguatan pelatihan melalui kemitraan global.
Pemajuan peranan perempuan dalam MPP menjadi poin yang krusial, hal ini karena perempuan memegang peranan penting dalam pencegahan konflik, manajemen konfik, dan bina damai pasca konflik.

Perdamaian Menjadi Tanggung Jawab Bersama

Dalam hal pengiriman pasukan perdamaian, Indonesia telah mengirimkan pasukan perdamaian sejak 1957. Saat ini menduduki posisi 8 dari 124 negara penyumbang personel terbesar dengan 3.080 personel, 106 di antaranya perempuan (female peacekeepers), bertugas di 8 misi perdamaian PBB.

Di banyak negara di mana misi penjaga perdamaian dilakukan, kekerasan berbasis gender (Gender Based Violence / GBV) dan kekerasan seksual terkait konflik (Conflict Related Sexual Violence / CRSV) terjadi dalam angka yang mengkhawatirkan.

Baik sebagai warga sipil maupun pejuang, perempuan dan anak-anak adalah korban terbanyak dalam suatu konflik. Misalnya, perempuan yang dianggap sebagai anggota keluarga kombatan sering menjadi sasaran kekerasan dan pelecehan dalam komunitas mereka. Hal ini tentu memengaruhi kemampuan mereka untuk bergerak bebas dan memenuhi kebutuhan keluarga mereka.

Di daerah-daerah di mana warga sipil yang terkena dampak konflik menerima bantuan kemanusiaan, perempuan dan anak perempuan dipaksa untuk memberikan imbalan seksual dan suap untuk menerima bagian dari bantuan kemanusiaan tersebut.

Untuk itulah peran penjaga perdamaian perempuan menjadi sangat krusial untuk mengatasi masalah-masalah terkait GBV dan CRSV di daerah konflik. Indonesia percaya bahwa keberadaan perempuan sebagai personel penjaga perdamaian akan memberikan andil besar terhadap keberhasilan suatu misi, dikarenakan peran perempuan dalam konstruksi sosial di masyarakat serta aspek psiko-sosial yang membuat perempuan mempunyai 'keistimewaan' dalam misi-misi kemanusiaan.

Perempuan dinilai lebih peka terhadap situasi lingkungan dan budaya setempat sehingga meningkatkan penerimaan masyarakat terhadap keberadaan penjaga perdamaian perempuan; Keberadaan penjaga perdamaian perempuan memberikan rasa aman dan nyaman terutama bagi anak-anak dan perempuan yang seringkali menjadi korban kekerasan seksual dalam suatu konflik;  Penjaga perdamaian perempuan juga memainkan peran sebagai early peace-builders & role model bagi para wanita lokal dalam mendorong aktivitas-aktivitas pembinaan perdamaian, termasuk yang berkaitan dengan aspek keamanan seperti proses gencatan senjata, demobilisasi, dan reintegrasi, serta negosiasi.

Letnan Kolonel Ratih Pusporini, menjadi salah satu perempuan pertama Indonesia yang diterjunkan sebagai penjaga perdamaian di daerah konflik pada tahun 2008. Perannya sebagai Militer Observer dalam kontingen Garuda yang bertugas di Kongo mengkonfirmasi peran perempuan dalam sebuah misi perdamaian.

“kami (perempuan penjaga perdamaian) berhasil masuk ke sebuah desa dan mendapatkan informasi mengenai kekerasan seksual yang terjadi di sana… regu sebelumnya gagal mendapatkan informasi yang dibutuhkan, karena tidak ada perempuan di sana… sementara kita tahu korbannya adalah perempuan" ungkap LetKol Ratih 

Pendekatan terhadap perempuan dan anak-anak di daerah konflik juga tidaklah mudah, salah satu pendekatan Indonesia dalam Misi Perdamaian PBB adalah melalui community engagement. Kegiatan community engagement biasanya dilakukan dalam bentuk Civil-Military Cooperation (CIMIC) yang biasanya berupa bantuan kemanusiaan (mengajar, memberikan fasilitas pengobatan) maupun memfasilitasi gencatan senjata dan proses perdamaian.

Indonesia memiliki beberapa program berbasis CIMIC di berbagai misi perdamaian PBB, antara lain melalui fasilitasi kesehatan bagi masyarakat setempat, menyediakan mobil pintar (perpustakaan keliling) untuk sekolah-sekolah setempat, dan berbagi seni budaya Indonesia kepada masyarakat setempat.

Baru-baru ini, Pasukan Perdamaian kita di Republik Demokratik Kongo (MONUSCO) berhasil memfasilitasi proses Disarmament, Demobilization, Repatriation, Reintegration and Resettlement (DDRRR) khususnya proses penyerahan senjata oleh salah satu pihak yang bertikai. Penyerahan senjata kepada Pasukan Indonesia membuktikan kepercayaan warga setempat kepada kemampuan Pasukan kita untuk memastikan perdamaian dan keamanan di Kawasan dimana mereka beroperasi.

“saya terharu saat seorang anak di Kongo menghampiri saya dan berkata ma'am I wanna be like you! Because of you, we can go to school…" LetKol. Pusporini mengenang keberhasilan salah satu misi di Kongo untuk mengamankan akses jalan, sehingga anak-anak bisa pergi ke sekolah.

Meskipun peran perempuan dalam menjaga perdamaian sangat krusial, keterlibatan perempuan dalam proses perdamaian masih sangat terbatas. Berdasarkan analisa dari UN Women, sebanyak 1.187 perjanjian perdamaian tahun 1990-2017, terdapat 2% mediator perempuan; 5% negotiator perempuan dan 5% saksi dan penandatangan perjanjian perdamaian perempuan. Hingga 31 Maret 2019, terdapat 3.472 personel militer perempuan dan 1.423 personel polisi perempuan dari total 89.681 personel penjaga perdamaian, atau 5,46%. Jumlah ini tentunya harus dapat ditambah, dan Indonesia memiliki niatan yang kuat untuk hal ini. Pengiriman all women contingent seperti yang pernah dilakukan India di misi perdamaian di Liberia pada tahun 2007 menjadi salah satu target Indonesia di masa mendatang.

Perlunya Komitmen Bersama Untuk Peningkatan Peran Perempuan dalam Perdamaian

Perempuan tidak memainkan peran kunci dalam mempertahankan perdamaian melalui peran mereka di bidang ekonomi, sosial dan budaya. Indonesia menggarisbawahai tiga hal untuk memastikan bahwa keterlibatan perempuan dalam keamanan dan perdamaian. Pertama, menekankan pentingnya peranan perempuan sebagai agen perdamaian dan toleransi. Kedua, menggandakan upaya untuk mengarusutamakan peran perempuan dalam agenda perdamaian di Kawasan. Ketiga, membangun dan membina jaringan negosiator dan mediator perempuan di Kawasan.

Dalam Debat Terbuka mengenai “Perempuan dalam Misi Penjaga Perdamaian" di Dewan Keamanan PBB di bulan April 2019, Sekretaris Jenderal Antonio Guterres menyoroti bahwa peningkatan partisipasi perempuan dalam misi penjaga perdamaian bukan hanya sebatas statistik, tetapi tentang meningkatkan kapasitas penjaga perdamaian dan pihak lain yang terlibat untuk mencapai mandat yang lebih baik.

Sebelum Debat Terbuka, Guterres menyerahkan surat yang merangkum strategi kesetaraan gender untuk personel dalam misi perdamaian, menanggapi resolusi 2242 tanggal 13 Oktober 2015, yang meminta Sekretaris Jenderal “untuk memulai, bekerja sama dengan Negara-negara Anggota, untuk merevisi strategi, dengan sumber daya yang ada, untuk meningkatkan jumlah perempuan dalam kontingen militer dan polisi dari misi penjaga perdamaian PBB selama lima tahun ke depan ".

Dalam berbagai forum internasional, Indonesia menekankan pentingnya peran perempuan dalam perdamaian dunia. Salah satu milestone dalam upaya ini adalah pertemuan menteri luar negeri perempuan pertama yang diadakan di Montreal, Kanada, pada 21 September 2018, yang dihadiri oleh Menlu Retno Marsudi. Topik mengenai mempromosikan perdamaian dan keamanan serta mengeliminasi kekerasan berbasis gender menjadi salah satu agenda penting.

Untuk meningkatkan jumlah perempuan dalam misi penjaga perdamaian, kita membutuhkan komitmen politik yang kuat untuk berinvestasi pada hal-hal yang dapat meningkatkan peranan perempuan dalam pengambilan keputusan nasional dan setiap tahap proses perdamaian. Ini dapat diterapkan melalui pembuatan dan pelaksanaan kebijakan yang sesuai dengan hak-hak perempuan (kesetaraan dan non-diskriminasi), reformasi budaya dan sumber daya yang memadai.

Salah satunya dengan menciptakan jaringan Global Gender Advisory, yang terdiri atas para penasihat ahli dalam hal pengarusutamaan gender. Jaringan ini berfungsi untuk memastikan perspektif pengarusutamaan gender berlangsung lintas divisi dan dalam berbagai lini operasi. Keberadaan para penasihat ahli ini harus diperjuangkan oleh para pimpinan sehingga mereka dapat menyuarakan urgensi memiliki lebih banyak perempuan di misi penjaga perdamaian PBB. Seperti yang telah dilakukan oleh Angkatan Pertahanan Selandia Baru dengan membentuk Jaringan Penasihat Wanita Militer Pasifik pertama yang diadakan di Suva, Fiji.

Memberikan lebih banyak pelatihan termasuk pelatihan khusus untuk perempuan disiapkan untuk misi, sebagai titik fokus gender atau dalam unit yang memerlukan khusus persiapan, Satuan Tugas Intelijen, Staf Ops, CIMIC, negosiator dan mediator - tugas di luar bidang yang dianggap sebagai “tugas feminin" (medis, logistik, tugas admin) untuk memperkuat implementasi tugas yang diamanatkan.

Dalam hal ini, Indonesia telah menyelenggarakan program pelatihan regional tentang Women, Peace, and Security (WPS) di Jakarta. Pelatihan ini dihadiri oleh 60 diplomat wanita dari negara-negara anggota ASEAN, Timor Leste dan Papua Nugini. Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi menegaskan kembali perlunya para pemimpin ASEAN untuk bergerak maju dengan mengimplementasikan agenda WPS di Asia Tenggara, menekankan pentingnya melibatkan lebih banyak perempuan dalam operasi pemeliharaan perdamaian PBB.

Terlepas dari kontribusi penting perempuan dalam perdamaian dan keamanan, keterwakilan dan peran perempuan masih belum memadai dalam berbagai fase proses perdamaian. Melihat hal ini, ada kebutuhan krusial untuk secara aktif mendukung partisipasi perempuan dan melaksanakan komitmen keterlibatan perempuan dalam proses perdamaian berkelanjutan sebelum, selama dan setelah konflik.

Indonesia mengharapkan bahwa peran perempuan dalam perdamaian dan keamanan tidak semestinya menjadi hal yang luar biasa, melainkan menjadi norma, karena “Investing in women equals investing in peace".​​​​
Bagikan:

Komentar